Di kampus ‘tercinta’ tempat saya bekerja saat ini (entah esok hari, entah….by Iwan Fals), memang cukup ‘unik’. Entah yg bikin unik siapa? Bisa jadi lingkungan kampus, sejarah kampus, atau mungkin saja para Pejabat yg kurang mengerti makna sejatinya sebagai Akademisi atau Dosen. Padahal indikator Dosen hanya 3, Tri Dharma,yaitu Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Mari sama-sama kita cek, instrospeksi diri, dan nilai, apakah kita telah memenuhi ketiga Tri Dharma tersebut? Yang paling faham adalah kita sendiri, lalu teman sejawat. Bagaimana jika pihak lain atau orang lain ingin mengetahui ‘sepak terjang’ seorang Dosen atau akademisi? Apakah hal ini tabu? Oh…tidak. Di jaman keterbukaan informasi ini, semua orang berhak mendapatkan informasi, namun sesuai dengan porsinya, atau istilahnya kerennya proposional.
Hubungan Studi lanjut, Tri Dharma dan Akreditasi
Beberapa orang ‘pintar’ memiliki pendapat dan pandangan, bahwa seseorang yang sedang studi lanjut, tidak diperkenankan melaksanakan Tri Dharma, baik Pendidikan, Penelitian maupun Pengabdian Masyarakat. Sekali lagi, entah ini hanya pendapat pribadi atau memang sudah menjadi peraturan yang telah ditetapkan oleh yang berwenang atau dikarenakan hal ‘ghaib’. Jika ‘kebijakan’ tersebut telah menjadi peraturan yang disetujui bersama, maka tentunya semua orang hukumnya wajib menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Pada borang akreditasi, kegiatan Tri Dharma menjadi aspek penilaian paling utama. Studi lanjut adalah salah satu rencana pengembangan SDM. Tentunya makin baik SDM yg dimiliki makin baik nilai untuk akreditasi. Akreditasi sebuah Program Studi/Jurusan akan selalu dilaksanakan setiap 4 tahun sekali. Kecuali Program Studi tsb tidak butuh atau tidak peduli dengan akreditasi lagi. Artinya segala aspek peniliaan terhadap kegiatan Tri Dharma selama 4 tahun akan menjadi faktor penentu yang paling penting. Lalu apa jadinya jika ada seorang Dosen yg sedang studi lanjut (misalkan studi lanjut S2 atau S3 selama 2-5 tahun) tidak diperkenankan melaksanakan Tri Dharma (dengan alasan yang remang-remang), sedangkan selama masa studi tersebut menghasilkan hasil penelitian, publikasi nasional atau internasional, maka semua itu tidak akan dihitung atau dimasukkan ke dalam akreditasi? Lalu akan dimasukkan kemana semua publikasi tsb. Bukankah biasanya kita selalu kekurangan dalam hal publikasi? Hmmm……aneh khan?? Bingung khan? Inilah akibatnya jika menjadi Pejabat yang lebih banyak menggunakan kekuatan (power). Pejabat belum tentu Pemimpin. Pemimpin belum pasti jadi Pejabat. Pemimpin bukan Bos. Jadilah Pemimipin yg memberi contoh yg baik. Memimpin dengan memberi ‘uswahtun hasannah’ adalah kepemimpinan yg sangat baik.
Adakah solusi?
Bagi saya solusi pasti selalu ada. Namun kembali ke masing-masing. Apakah kita mau menjalankan solusi tersebut? Nah….artinya pertanyaannya sekarang berubah. Sebelum solusi ditetapkan, ada baiknya kita perbaiki terlebih dahulu ahlaq kita sebagai Pendidik / Dosen / Akademisi.