Sebuah tulisan yang bagus dari Bapak Lukito Edi Nugroho. Setelah membaca tulisan beliau, saya mendapati banyak hal yang sama-sama saya rasakan dan lakukan. Kayaknya memang sudah menjadi sebuah sunnahtullah, bahwa yang sedang melanjutkan studi S3 pasti akan mengalami hal serupa. Mungkin kadarnya yang berbeda-beda. Saya berharap dengan adanya tulisan beliau dapat membuka sebuah paradigma dan wawasan baru bagi siapa saja yang peduli terhadap dunia akademisi dan pendidikan.
Berikut tulisannya.
Studi S3 itu identik dengan riset. Tidak ada program S3 tanpa riset. Sayangnya riset adalah sesuatu yang kadang tidak dimengerti dengan baik oleh calon mahasiswa S3, sehingga kinerja mereka tidak maksimal. Sebelum menempuh pendidikan S3, sebaiknya calon mahasiswa memahami dulu tentang dunia yang akan mereka hadapi, agar bisa menyiapkan diri dengan baik.
Menjadi Mahasiswa S3
Masa studi pada jenjang S3 tidak terlalu berbeda dengan masa studi jenjang S1, tapi mahasiswa S3 menghadapi tantangan yang amat berbeda dibandingkan dengan mahasiswa S1. Mahasiswa S1 yang diterima di sebuah program studi tertentu biasanya memiliki cukup informasi untuk memahami tentang arah dan substansi yang akan dipelajarinya. Ada pemahaman umum tentang bidang studi yang bersangkutan, ada buku panduan akademik yang berisi informasi-informasi resmi tentang program studi tersebut, serta sumber-sumber informal lain seperti dosen atau teman kuliah. Sebaliknya, begitu diterima pada program S3, seorang mahasiswa dihadapkan pada ketidakjelasan tentang apa yang harus ia lakukan. Ia harus menjawab banyak pertanyaan tentang riset yang akan dijalaninya: domain dan lingkupnya, persoalan yang harus diselesaikan, metodologinya, dan sebagainya. Tidak ada jawaban yang pasti untuk semua pertanyaan itu, dan tidak ada orang lain yang bisa membantu mencarikan jawaban. Mahasiswa harus mencari jawabannya sendiri sepanjang studinya, dan inilah yang membuat tantangan pada program S3 jauh lebih berat dibandingkan dengan pada program S1.
Mahasiswa S3 juga dituntut memiliki tanggung jawab lebih besar. Studi yang dilakukannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri seperti halnya mahasiswa S1, tapi harus berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang yang ditekuninya. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa S3.
Pertama, seorang calon doktor harus punya kecintaan dan passion terhadap bidang ilmu dan topik riset yang ditekuninya. Selama 3 tahun (sering kali lebih) masa studinya, mahasiswa akan bergelut dan berjuang keras dengan topik risetnya. Perjuangan dalam masa yang cukup panjang ini tidak akan bisa dimenangkan jika tidak ada dorongan internal dari dalam diri mahasiswa. Tanpa motivasi internal, seseorang tidak akan tahan berkutat dengan ketidakjelasan, kebuntuan, rasa frustrasi, kelelahan, dan berbagai perasaan negatif lainnya yang sering muncul dalam kurun waktu studinya.
Kecintaan dan passion adalah buah dari sebuah relasi yang berlangsung cukup lama dan intensif. Keduanya muncul sebagai akibat dari rasa ketertarikan seseorang terhadap sesuatu dan terpenuhinya harapan-harapan yang timbul selama interaksi berlangsung. Masalah rasa seperti ini tidak bisa dipaksakan untuk muncul. Artinya, ketertarikan seseorang terhadap bidang tertentu sejak sebelum menjadi mahasiswa S3 akan memberinya passion yang lebih besar dibandingkan jika orang tersebut baru menyentuh bidang risetnya saat ia memulai studi S3nya.
Yang kedua, seorang mahasiswa S3 haruslah menjadi manajer yang baik, khususnya untuk dirinya sendiri. Studi S3 memerlukan fokus perhatian, usaha keras, dan alokasi waktu yang cukup. Terkadang waktu, perhatian, dan pikiran yang diperlukan melebihi alokasi yang direncanakan, sehingga mengambil jatah kepentingan lain seperti keluarga, lingkungan sosial, urusan kantor, atau bahkan kepentingan pribadi. Sering terjadi seorang mahasiswa S3 harus menghabiskan waktunya di laboratorium dari pagi sampai larut malam. Jika ini menjadi rutinitas, bagaimana dengan sisi-sisi kehidupannya yang lain? Bagaimana dengan keluarga? Bagaimana dengan kepentingan pribadi yang semestinya juga mendapatkan perhatian (misalnya: berolah raga, bersosialisasi, dan beristirahat). Jika tidak dikelola dengan baik, ketidakseimbangan dalam alokasi waktu, perhatian, dan pikiran bisa memunculkan efek negatif dalam kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya beresiko mengganggu studi S3 itu sendiri.
Mahasiswa S3 dituntut untuk bisa mengelola kehidupannya dengan baik, dalam kondisi menghadapi tekanan dan tuntutan yang tinggi. Sering kali persoalannya tidak sesederhana mengelola kehidupan diri pribadinya, tetapi juga merembet ke lingkup yang lebih lebar, misalnya keluarga atau kantor. Sebagai contoh: banyak mahasiswa S3 di luar negeri yang mengajak keluarganya untuk ikut, dan karena ketidakmampuan keluarga beradaptasi dengan lingkungan baru, keluarga menjadi ikut tertekan, dan ini akhirnya berpengaruh pada studi mahasiswa tersebut. Studi di dalam negeripun tidak lepas dari berbagai permasalahan, meski bentuknya berbeda. Seorang dosen yang bersekolah S3 di perguruan tingginya sendiri, mau tidak mau tetap tidak bisa lepas dari penugasan-penugasan dari kampusnya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola riset S3nya itu sendiri. Riset dapat diibaratkan proyek. Ada sasaran yang harus dicapai dengan cara-cara tertentu, dan ada kekangan-kekangan yang harus diperhitungkan (waktu, biaya, ketersediaan fasilitas riset, keinginan pembimbing, dan sebagainya). Persoalan mendasarnya adalah bagaimana proyek riset ini dapat diselesaikan dengan baik dalam berbagai kekangan yang ada. Mahasiswa S3 perlu melakukan hal-hal yang pada umumnya dijalankan dalam pelaksanaan proyek: perencanaan, eksekusi, pemantauan, persiapan terhadap resiko, dan penjaminan kualitas hasil. Semua ini dijalankan secara terpadu dan menyatu dengan kegiatan riset.
Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan mental. Riset adalah kegiatan yang mengandung ketidakpastian tinggi. Ketidakpastian dalam riset bisa muncul dalam berbagai manifestasi, dari mulai hasil riset yang “aneh” sampai ketidakjelasan keinginan dan sikap pembimbing. Sayangnya manusia adalah mahluk yang rentan terhadap ketidakpastian, terutama secara mental dan emosional. Frekuensi munculnya ketidakpastian yang tinggi dan dalam jangka waktu lama berpotensi meruntuhkan mental dan emosi mahasiswa. Reaksi mahasiswa biasanya diawali dengan kebingungan, kekhawatiran, atau kemarahan, dan jika ini berlanjut tanpa ada penyelesaian, muncullah rasa frustrasi, putus asa, atau apatis. Kondisi ini bisa bermuara pada gejala-gejala fisik dan psikis yang lebih serius. Untuk mencegah hal itu, seorang mahasiswa S3 harus menyiapkan mentalnya dengan baik. Mental harus kuat agar bisa mewujudkan persistensi dan ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian.
Selain itu mahasiswa perlu melatih diri dengan ketrampilan mengelola emosi dalam menghadapi problem. Ketrampilan emosional ini penting sekali, tapi sayangnya tidak banyak orang yang sadar tentang pentingnya hal ini dalam studi S3. Kesadaran dan penguasaan diri terhadap emosi sangat diperlukan agar respons terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan bisa terukur, positif, dan tidak merusak kemajuan yang telah diperoleh sebelumnya.
Standar dan Ciri Riset S3
Riset S3 adalah riset yang berada di ujung kemajuan ilmu pengetahuan. Bobot state-of-the-artnya tinggi, karena tuntutannya adalah munculnya kebaruan (novelty) yang memiliki orisinalitas tinggi. Dengan tuntutan seperti ini, maka secara alamiah dapat dikatakan bahwa sang peneliti adalah orang yang paling tahu dan mengerti tentang topik yang ditelitinya. Dialah orang yang terdepan dalam arah pengembangan ilmu pengetahuan di topik spesifik tersebut. Orang lain, termasuk pembimbingnyapun tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan sebaik dia.
Banyak calon mahasiswa merasa bingung dengan ciri kebaruan dan orisinalitas. Pada tataran apakah kebaruan itu harus dimunculkan? Seberapa tinggi tingkat orisinalitas yang diharapkan? Di satu sisi, sering terjadi kebaruan dan orisinalitas diterjemahkan sebagai “belum pernah dipikirkan oleh orang lain”. Calon mahasiswa berpikir keras mencari ide atau konsep yang sama sekali di luar pakem, lepas dari konteks ilmiah akademis yang ada. Target yang ambisius seperti ini biasanya tidak akan tercapai, apalagi jika tidak didukung oleh kemampuan dan sumberdaya yang memadai.
Yang banyak terjadi justru di ekstrim lainnya, kebaruan diterjemahkan secara superfisial saja, tidak menyentuh ke esensi fundamental dari permasalahan yang dihadapi. Hal ini sering muncul karena calon mahasiswa mencoba mengekstrapolasikan pengalaman belajar mereka semasa menempuh S2 secara linear. Dalam kasus ini, kebaruan dicoba direalisasikan dengan cara memperluas cakupan riset S2 mereka. Karena belum memahami tuntutan riset S3, kebanyakan proposal ekspansi ini bersifat horizontal (meluas) saja, kurang menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental.
Di luar negeri, salah satu sebutan gelar doktor adalah doctor of philosophy (Ph.D). Sebutan ini menyiratkan tuntutan pencarian (quest) sampai pada tataran filsafat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, gelar PhD tidak hanya terbatas untuk bidang filsafat saja, tapi juga digunakan pada bidang-bidang ilmu lainnya. Meskipun demikian, esensi maknanya tetap sama. Eksplorasi dan penggalian tetaplah dituntut untuk sampai menggali aspek-aspek fundamental dalam lingkup bidang ilmu tersebut. Keluaran riset S3 adalah pemahaman-pemahaman baru yang dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya adalah khasanah ilmu pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan (aplikasi) ilmu tersebut. Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran aplikasi saja, meskipun di lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga menarik dan bermanfaat.
Secara singkat, yang membedakan riset S3 dengan riset S2 atau S1 adalah tingkat signifikansi kontribusinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah bidang. Karya Claude Shannon tentang bagaimana rangkaian relay elektris dapat digunakan untuk mengimplementasikan konstruksi logika Boolean adalah contoh karya yang berbobot S3 (meskipun Shannon mengerjakannya untuk tesis masternya!). Semua perangkat digital saat ini dikembangkan dari temuan riset ini. Sebaliknya, pembuatan aplikasi pengolah kata (word processor) selengkap apapun fiturnya, kecil kemungkinannya bisa diangkat sebagai topik riset S3 karena tidak ada kebaruan secara fundamental yang dapat digali dari sana.
Persyaratan yang berat dan bersifat fundamental terhadap riset S3 memang tidak mudah dimengerti, apalagi oleh calon mahasiswa. Inilah sebabnya mengapa calon mahasiswa perlu didampingi oleh pembimbing (promotor/supervisor). Pembimbing inilah yang dapat menentukan seberapa jauh/dalam riset yang dilakukan, untuk itu komunikasi dengan pembimbing adalah sesuatu yang sangat penting dalam studi S3.
Tuntutan yang sangat tinggi juga memerlukan kemandirian yang tinggi dari mahasiswa. Memang ada promotor atau supervisor, tetapi perannya lebih pada mengarahkan, bukan menuntun. Mahasiswa S3 harus mampu berjalan sendiri.
Kemandirian dalam riset dimulai dari persiapan melamar, sampai dinyatakan lulus dalam mempertahankan hasil risetnya. Kemandirian riset berarti mahasiswa yang memegang inisiatif dan kendali dalam mempersiapkan, menjalankan, dan menyelesaikan risetnya. Ibaratnya melakukan perjalanan menerabas hutan lebat yang tidak dikenal, mahasiswa harus menjalaninya sendirian, dari menentukan tujuan perjalanan, memilih rute, memilih alat transportasi, sampai dengan menghadapi rintangan, halangan, dan berbagai kesulitan yang ditemui selama menempuh perjalanan. Bimbingan dari promotor biasanya hanya berupa arahan dan petunjuk yang bersifat umum. Mahasiswa harus menerjemahkannya ke dalam bentuk aksi-aksi nyata yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
Riset S3 adalah sebuah perjalanan hidup yang arah dan caranya ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Di balik tantangan yang begitu besar, tersembunyi reward yang besar pula bila dapat menjalaninya dengan baik. Dalam setiap riset S3 selalu ada persoalan yang ingin diselesaikan atau pertanyaan yang ingin dijawab. Pada umumnya persoalan/pertanyaan ini diurai menjadi persoalan-persoalan yang lebih sempit dan spesifik, sehingga lebih mudah untuk memecahkannya. Riset adalah usaha untuk menjawab persoalan-persoalan ini, dan menyusun jawaban-jawaban yang diperoleh ke dalam sebuah konstruksi yang utuh sebagai jawaban atas pertanyaan utamanya.
Proses menemukan jawaban atas persoalan-persoalan atau pertanyaan-pertanyaan itulah yang pada akhirnya membawa pemahaman-pemahaman baru kepada mahasiswa. Proses ini akan merangkai pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki (prior knowledge) dengan metode-metode ilmiah untuk membentuk pengetahuan-pengetahuan baru (acquired knowledge).
Persoalan atau pertanyaan riset selalu bersifat terbuka, artinya tidak ada satu jawaban eksak, dan saat ia diajukan, tidak ada yang tahu seperti apa jawabnya. Seberapa jauh persoalan riset akan dijawab, dan seberapa jauh pengetahuan baru dapat digali dan dikonstruksi sangat tergantung pada mahasiswa. Riset yang baik adalah riset yang dapat menghasilkan jawaban yang jelas dan runtut, serta menggali banyak pengetahuan baru yang menambah khasanah pengetahuan yang sudah ada. Faktor inilah yang menentukan tingkat kualitas riset S3.
Di mana letak reward riset S3? Menurut pengalaman orang-orang yang pernah menjalani studi S3, baik proses riset maupun hasilnya dapat memberikan reward yang setimpal dengan usaha yang dikeluarkan. Menjalankan riset berarti melatih intelektualitas dalam mencari jawaban dengan menggunakan metode yang obyektif, runtut, dan sistematis. Di dalamnya ada proses penalaran, menguji hipotesis, mencari data pendukung yang valid dan menerapkannya, menganalisis fenomena, sampai ke menarik kesimpulan. Aktivitas riset sebenarnya melatih cara berpikir kita. Jika terlatih berpikir secara runtut dan sistematis, maka kita akan nyaman untuk menghadapi berbagai persoalan yang menuntut solusi yang tepat. Kemampuan inilah yang sebenarnya sangat berharga bagi seorang mahasiswa S3. Setelah lulus, ia akan dilengkapi dengan pisau intelektual yang tinggi yang bisa digunakan dalam bidang apapun juga, bahkan dalam situasi-situasi non-ilmiah.
Mendapatkan hasil atau temuan dalam tiap tahapan riset juga membawa kepuasan tersendiri. Gambaran situasinya seperti saat Archimedes berseru “Eureka!”. Hasil dan temuan riset adalah hal-hal baru yang membawa mahasiswa ke “ujung ilmu pengetahuan”. Saat itu, ia adalah orang yang paling paham tentang topik penelitiannya. Bagi yang pernah mengalami, perasaan itu tidak tergantikan oleh apapun.
Selain itu, konstruksi pengetahuan yang terbentuk juga menjadi aset intelektual yang sangat berharga bagi mahasiswa. Dengan pengetahuan ini, ia menjadi ahli di bidangnya dan dapat menggunakan ilmunya untuk berkarya setelah lulus. Ia dapat melanjutkan penelitiannya, menerapkannya dalam konteks dan lingkungan nyata, atau mengajarkannya kepada mahasiswa lain.
tulisan yang sangat bagus. terima kasih atas tulisannya yang sangat motivatif. sbg mahasiswa s1 saya menjadi semakin termotivasi untuk mencari ilmu pengetahuan yang lebih dalam dan lebih ikhlas lagi. tidak hanya bagi dari sendiri tapi juga bagi orang lain. karena ilmu itu pada hakikatnya dikembangkan dan saling berbagi satu sama lain.
Trims…tapi itu bukan tulisan saya, melainkan tulisan Bpk. Lukito. Saya hanya sharing saja. Agar kita saling memberikan nilai positif dan saling memotifasi.
Trims, saya sedang menunggu pengumuman lulus/tidak studi lanjut s3 di Malang. Share ini memberikan sebuah gambaran yang cukup jelas, sebagai langkah awal bagi saya. Mohon izin, teksnya saya copy untuk diperlihatkan ke isteri (maklum di rumah belum ada link internet yang nyaman, 🙂 ), trims.
Silahkan Pak…monggo. Semoga sukses dan lancar selalu.