Mungkin cerita ini agak sedikit membosankan, karena ini cerita adalah cerita “khayalan” tentang perjalanan seorang anak desa mendapatkan beasiswa untuk dapat sekolah lanjut di luar negeri. Dan untuk menggapai itu menjadi nyata sangatlah tidak mudah. Penuh ujian, hambatan, tantangan, serta pengorbanan yang luar biasa. Sengaja cerita ini ditulis hanya untuk mengingatkan bahwa diperlukan keuletan, kesabaran dan pengorbanan untuk meraih cita-cita dan mimpi besar. Cerita ini juga telah diedit dengan maksud agar tidak ada pihak yang dirugikan. Cukup Allah yang maha mengetahui segala sesuatunya.
Berawal dari impian kecil Adoel ketika duduk di bangku SMA. Adoel ingin sekali dapat melanjutkan studi di luar negeri. Adoel sering berkhayal dapat merasakan kehidupan baru, lingkungan baru, kultur baru, teman baru dari segala penjuru dunia apabila Adoel dapat menggapai mimpi itu. Namun dalam perjalanannya impian itu malah pernah nyaris hilang. Mungkin impian itu hanya impian anak kecil, seperti isapan jempol saja, yang spontanitas muncul dan hilang begitu saja. Seperti anak TK atau SD yang sering ditanya, “nanti kalau sudah besar mau jadi apa?”
Tidak terasa waktu telah berjalan cukup lama, hingga mimpi itu hampir benar-benar hilang. Setelah lulus Sarjana Dasar (S1) Adoel malah berangan-angan ingin menjadi orang biasa saja seperti pada umumnya. Bekerja, menikah, berkeluarga, mengejar karir dan seterusnya. Adoel lulus S1 dari sebuah kampus swasta di desa pinggiran kota Jakarta Barat yang mungkin tidak begitu akrab di telinga orang-orang pada saat itu. Maklum, dengan perekonomian orang tua Adoel yang pas-pas-an dan akibat tidak dapat masuk ke universitas negeri yang bergengsi dan favorit. Dengan status jurusan pada saat itu masih terdaftar, Adoel harus menempuh ujian negara agar dapat dinyatakan lulus. Setelah lulus, Adoel nguli sebagai asisten programmer yang dikontrak selama 1 tahun dengan gaji yang kadang dirapel beberapa bulan sekali. Selang beberapa tahun kemudian Adoel mendapat tawaran sebagai guru (bahasa kerennya “dosen”). Mengingat Adoel adalah lulusan nomor “wahid” alias No. 1 dari jurusan itu, maka Adoel mendapat kesempatan emas. Dan jadilah Adoel seorang tenaga atau staf pengajar sejak saat itu. Baru menjadi guru selama 2 tahun, Adoel merasa ilmunya belum dalam. Akhirnya Adoel putuskan untuk melanjutkan ke jenjang lebih lanjut, master kungfu :). Dengan biaya sendiri, karena Pimpinan saat itu tidak memberikan ijin & restunya, Adoel nekad menyisihkan sedikit rejeki dan mengencangkan ikat pinggang dan dapur keluarga kami demi unntuk membayar biaya sekolah yg cukup tinggi saat itu. Kali ini studi master Tsanawiyah di sebuah kampus negeri di bilangan pinggiran Jakarta (sebelum kota Bogor) yang sudah pasti sangat terkenal di seluruh penjuru Indonesia. Walaupun untuk melanjutkan studi master ini dengan biaya sendiri yang cukup mahal pada saat itu, semangat Adoel tetap tinggi. Karena untuk mendapatkan sesuatu yang baik memang diperlukan pengorbanan. Pimpinan dari tempat Adoel bekerja belum mengijinkan Adoel untuk mendapatkan beasiswa, hal ini dikarenakan masa kerja Adoel yang masih sangat sedikit, baru 2 tahun. Puji syukur, Alhamdulillah….Tuhan memberi rezeki sehingga Adoel masih diberi kemampuan untuk membayar biaya studi master sendiri. Setelah menyelesaikan master kungfu dengan predikat cum laude, impian studi ke luar negeri itu muncul kembali. Niat untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya yang lebih tinggi mulai muncul sejak tahun 2007. Dikarenakan tidak adanya dukungan finansial untuk studi master bin master alias Aliyah, maka Adoel mulai menjadi ‘Pemburu beasiswa’. Dimulai dari mencari informasi kepada teman-teman yang sudah pernah mendapat beasiswa. Sampai mencari referensi dari teman-teman dan mantan pembimbing Adoel yang sangat baik hati dan selalu memberi dukungan. Internet-pun menjadi salah satu alat untuk mencari lowongan sekolah dengan beasiswa.
Pada tahun 2007, Adoel dikenalkan dengan seorang Guru Besar dari negeri Mercedez yang kebetulan sedang berada di Jakarta, Indonesia dalam rangka kerjasama internasional antar kampus di Jerman dan Indonesia. Dengan berbekal semangat dan mental bulat alias nekat, Adoel siapkan CV dan resume-nya untuk diberikan kepada beliau. Singkat cerita Adoel pun mendapat surat rekomendasi dari beliau untuk mengajukan beasiswa studi ke Jerman melalui DAAD. Ketika itu sepertinya mimpi hampir menjadi kenyataan. Betapa senangnya Adoel ketika mendapat surat rekomendasi tersebut. Maka dengan segera Adoel menyiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk mengajukan beasiswa DAAD studi ke tingkat Aliyah di Jerman. Namun malang, rupanya nasib baik belum berpihak kepada Adoel. Ajuan Adoel belum disetujui alias ditolak. Ingin menangis rasanya saat itu. Ini adalah pengalaman pertama bagi Adoel yang sangat berharga. Hikmah dari pengalaman itu adalah diperlukan persiapan yang cukup baik untuk bisa mendapatkan beasiswa DAAD. Dan pada saat itu Adoel memang belum melakukan persiapan yang baik, maka hasilnya masih sangat jauh.
Tahun 2009 Adoel coba mendaftarkan diri mengikuti kursus pelatihan bahasa Inggris yg diadakan oleh Dikti selama 4 bulan di sebuah universitas negeri di kota Malang, Jawa Timur. Ini adalah dalam rangka mempersiapkan diri untuk persiapan studi di luar negeri. Ini adalah ujian lain dan pertama kali bagi Adoel, jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang lumayan lama. Saat pelatihan itulah, Adoel sadar sekali dan merasakan bahwa untuk meraih beasiswa dan studi ke luar negeri tidaklah mudah. Walaupun saat itu (katanya) pemerintah memiliki dana yang banyak untuk beasiswa. Namun peminatnya sedikit. Maksudnya adalah, sejak tahun 2009, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yg minim kesediaan dana beasiswa dari pemerintah. Kalau dahulu, dosen yang berburu mencari beasiswa, seperti apa yang telah Adoel lakukan selama ini. Namun, sejak tahun 2009 keadaan berubah, pemerintah dengan program beasiswa justru mencari dosen yang siap untuk studi ke luar negeri. Bagi Adoel, inilah mungkin ‘ijabah’ dari do’a dan usaha Adoel. Hanya saja Adoel harus lebih mempersiapkan diri untuk mendapatkan ‘amanat’ beasiswa itu.
Pada akhir tahun 2010, Adoel dan beberapa teman sejawat dari kampus yang sama mencoba melamar untuk mendapatkan beasiswa luar negeri pada gelombang 4. Mungkin dikarenakan kami memasukan dokumen pada hari terakhir pendaftaran, malang sekali nasib kami, pada saat pengumuman hasil penerimaan beasiswa, nama kami tidak berada pada daftar pelamar beasiswa, walaupun dokumen lamaran beasiswa kami sudah diterima oleh pihak pengelola beasiswa. Akhirnya kami kembali mengajukan aplikasi beasiswa luar negeri pada gelombang 5. Kali ini kami mengajukan diawal periode. Berbekal pengalaman sebelumnya dengan harapan nama-nama kami masuk ke dalam daftar pelamar beasiswa luar negeri. Setelah beberapa bulan proses administrasi, pengumuman dikeluarkan pada awal tahun 2011, dan nama Adoel pun masuk dalam daftar pelamar beasiswa pada lampiran 2, yaitu peserta yang lulus namun bersyarat. Ada 2 syarat yang harus Adoel penuhi, nilai IELTS & Letter of Acceptance (LoA) yang terbaru dari sebuah universitas ternama di Australia. Perjuangan belum selesai, Adoel harus mengambil ujian IELTS. Adoel pun belajar sendiri dengan berbekal Internet dan buku-buku untuk mengejar persyaratan bahasa Inggris yang mensyaratkan nilai IELTS min 6.0. Seandainya saja Adoel memiliki cukup finansial, mungkin Adoel akan mengambil kursus persiapan IELTS. Setelah beberapa bulan belajar otodidak, kembali Adoel mendaftar untuk ujian test IELTS pada bulan Mei 2011. Ternyata hasilnya masih kurang dari 6.0. Kemudian pada bulan September 2011 Adoel kembali mengambil test IELTS lagi untuk yang kedua kalinya. Ternyata nilai IELTS Adoel belum beranjak juga dan masih kurang dari 6.0. Adoel pun nyaris putus asa. Dan untuk yang ketiga kalinya Adoel mengambil test IELTS pada bulan Januari 2012. Alhamdulillah, kali ini nilai IELTS Adoel mencapai 6.0. Artinya setelah ujian IELTS yang ketiga kalinya, Adoel baru mencapai nilai yg diminta. Maka dengan segera Adoel melaporkan diri untuk kembali memproses beasiswanya yang tertunda selama hampir 1 tahun. Lalu masalah lain muncul, yaitu LoA (Letter of Acceptance). Kampus tempat tujuan studi Adoel di Australia belum bisa mengeluarkan LoA. Mereka hanya bisa menyediakan LoO (Letter of Offer). Pikir Adoel, berapa lama lagi Adoel harus proses dan menunggu. Sudah banyak waktu dan pengorbanan yang telah Adoel lakukan. Ditengah-tengah kegalauan, muncul “ide gila”, yaitu banting setir, cari LoA ke universitas lain, yaitu di Perancis. Kebetulan Adoel memiliki teman yang sedang studi di Perancis. Adoel segera kontak temannya melalui email. Dan Adoel mengirim email juga ke pimpiman Lab (Profesor) sambil menjelaskan bahwa Adoel adalah calon penerima beasiswa dari pemerintah Indonesia dan sedang mencari kampus untuk mengerjakan risetnya. Profesor dari Perancis-pun menyambut dengan baik dan cepat responnya. Dalam hitungan beberapa hari, setelah Adoel berikan semua dokumen pendukung, LoA pun sudah ada ditangan Adoel. Adoel akan studi ke Perancis….teriak dalam hati Adoel. Good bye Australia…, Bienvenue LA France. Hikmah dari pengalaman ini, Tuhan memberikan Pertolongan NYA diujung segala ujian yang berat ini. Kita hanya perlu bersabar dan berusaha sekuat hati.
Lalu setelah melengkapi persyaratan nilai IELTS terbaru dan LoA terbaru dari Perancis itu, maka Adoel sudah masuk ke dalam daftar penerima beasiswa pada lampiran 1 (yang siap diberangkatkan). Segera Adoel urus dokumen persiapan keberangkatan, seperti passport, visa, surat ijin keberangakatan dari Sekneg, kontrak beasiswa, surat jaminan dan lain-lain. Ini memakan waktu sekitar 4-5 bulan. Dan mulai 5 Juni 2012, Adoel telah berada di Perancis untuk melanjutkan studi Aliyah-nya.
congratz bang…
impian yang menajdi kenyataan. sungguh menginspirasi saya untuk ingin meraih beasiswa s2 di luar negeri juga..
Tulisan yang sungguh meneguhkan hati saya yang sedang menempuh s2 dengan biaya sendiri. Terima kasih
proud to you my friend .. hoppely all your dream will come true .
Amiin…thanks all.