Skip to content

Mindset UANG – Part #2

Setelah membaca dan memahami Part #1, yuuk lanjut ke Part #2. Kali ini kita bahas lebih dalam dan lebih menyelam.

Menurut saya, adalah pentingnya untuk terus belajar terus-menerus. Kita perlu memahami, bahwa kita punya perspektif apa tentang UANG?

Nah, awal mulanya kita semua tahu bahwa uang menjadi alat tukar. Kemudian sekarang bergeser jadi alat ukur nilai manusia. Loh koq begitu? Maksudnya gimana ? Banyak orang merasa berharga ketika punya banyak uang. Terus kemudian merasa hina ketika enggak punya uang. Padahal dulu, uang itu hanya simbol, bukan sebuah nilai. Di suatu titik mana manusia mulai menyembah simbol bukan maknanya. Sekarang kalau ditanya, “Hai Manusia modern, Tuhan kamu siapa sih?” Kebanyakan menjawab UANG. Bahkan pemuka agama sekalipun bilang Tuhannya adalah uang. Benar atau Betul ? Benar banget loh ini.

Saya akhir-akhir ini merasakan dan konsen banget untuk bahas tentang finansial. Kenapa? Karena saya ingin teman-teman semuanya itu kuat secara finansial supaya atensinya diarahkan ke finansial. Karena awalnya dulu saya memulainya dari perspektif pemahaman-pemahaman tentang agama, atau religi gitu. Nah, pada suatu ketika aku merasa semua orang pada tokoh-tokoh agama itu orientasinya yah uang alias duit. Aduh kalau gitu udahlah saya mulai dari finansial dulu aja. Gitu sih awalnya. Dan orang berpikir bahwa orang yang agamis dan/atau spiritualis itu pasti anti dengan uang. Eh, jadi semua ajaran spiritual itu seolah-olah dan tanda kutip memusuhi uang.

Kita sekarang mau realistis saja. Contoh paling sederhana. Contoh kalau keuangan saya baik-baik saja, saya berlimpah uang., maka enggak ada tuh keinginan untuk nyuri di Indomaret atau klepto. Betul enggak? Enggak ada. Misalkan ada teman ngajak dan bilang, “Bro, yuk nilep di Indomaret.” Saya akan bilang, “Lu ngapain nyuri, Bro? Lu pengin apa? Ga usah nyuri….gw beliin deh”. Mau nyuri susu bayi, Bro. Karena anak saya belum minum susu.” Ya wis tak beliin, Bro Karena saya sedang berlimpah. Tetapi kalau saya kekurangan duit, keuangan kacau balau, kerjaan enggak ada, tidur di pinggir jalan, misalkan.. Lalu kemudian kalau saya yang lapar, mungkin saya masih bisa nahan. Tapi kalau anak saya bilang, “Pak, lapar, Pak.” Ya, wis. Duh, bodo amat. Mau masuk neraka, mau masuk penjara, masuk bui, segala pemahaman dosa, karma dll, itu enggak laku. Nah, kita ngomong realistis, ya, bukan ngomong benar atau salah. Gak apa-apa saya masuk neraka, saya siap. Digebukin warga pun yang penting buat anak ga kelaparan. Ambil nyuri susu buat anak saya biar enggak kelaparan.

Apa moral ceritanya? Intinya seperti ini. Ketika keuanganmu amburadul, segala ilmu dan kepercayaan, serta norma enggak laku. Kita mau ngomong kayak apapun sama orang yang kekurangan uang, berat rasanya. Mendal semuanya, gak ada guna. Mau pakai metode A, metode B, metode C, enggak ada yang nyangkut. Yang dia cari cuma satu….yaitu jalur pintas. Makanya, jalur ini laku dan banyak yang minat, tapi banyak juga yg berakhir dengan tragis. Yang ada dipikirannnya cuma, “Tolong saya….kasih saya uang. Mana uangnya, cepetan! Mana uangnya? “ Cuman itu aja yang muter-muter di kepalanya. Dia enggak mau dengar alasan apapun, cuma muter sana muter sini.

Hukum semesta bekerja seprti ini; Semakin kamu butuh, semakin kamu kekurangan. Iya begitulah. Semakin kamu ngarep sesuatu, semakin kamu jauh, semakin kekurangan. Iya, karena kamu digerakkan oleh kekuranganmu. Ya, kamu akan digerakkan. Makanya sekarang kalau ada orang sedang curhat tentang masalah finansial, saya sering tanya, “Kamu sekarang sedang mengabdi ke Tuhan yang mana? Tuhan yang abundance atau Tuhan yang kekurangan? Jangan dijawab sekarang. Itu perlu direnungkan dahulu. Jadi, belajar spiritual itu bukan untuk menjawab soal 1 + 1 sama dengan berapa? Bukan. Ini bukan tebak-tebakan. Tapi ini adalah pertanyaan untuk dibawa ke dalam dirimu, direnungkan. Sekarang dalam hal finansial saya ini mengabdi pada Tuhan yang mana? Tuhan yang berlimpah atau Tuhan yang kekurangan? Saya melayani Tuhan yang mana nih?

Nah, terus, kalau kamu terus menerus berpikir gimana caranya cari uang nih? Aduh gimana yah? Kemana yah? Coba kamu lanjutkan pertanyaaan diatas, kamu sedang melayani Tuhan yang kekurangan atau keberlimpahan. Kalau kamu melayani Tuhan kekurangan, maka kamu makin kekurangan, makin kekurangan makin kekurangan. Looping terus menerus. Itu tidak hanya soal uang, mungkin bisa digeneralisir ke berbagai macam kompleksitas hidup, kebutuhan kita, pekerjaan kita, bisnis kita bahkan relasi kita. Betul atau Benar ? Silahkan teman-teman renungkan.

Kembali lagi ke pertanyaan, “Dari titik mana uang itu bisa menguasai kamu?” Ya, ketika kamu sudah merasa kekurangan uang berat. Itulah artinya kamu sudah dikuasain oleh uang. Semua orang yang memuja-muja uang pasti kekurangan uang. Terlepas kamu kaya atau miskin. Ya, sekali lagi orang (dengan mental) kekurangan tuh bukan berarti dia miskin loh. Bukan. Ada orang kaya raya dan makin kaya, tapi makin kekurangan. Ada. Ada juga orang enggak punya duit, misal pengemis, dia bisa (punya mental) abundance (berlimpah). Contoh, mungkin teman-teman pernah lihat di Internet, ada social experiment, mungkin lihat di YouTube atau di TikTok. Ada orang Amerika, dia bawa makanan burger McDonald’s dan duit. Jadi di dalam burgernya itu dia kasih duit dolar dan dia bagikan ke homeless atau pengemis di pinggir jalanan. Yang namanya homeless ya pasti enggak punya duit, makan aja untung-untungan, satu hari atau dua hari dia ga makan, kita enggak tahu. Kemudian dia kasih seorang homeless 2 burgers. Tapi si pengemis ini malah bilang, “saya mau kasih burger ini ke teman saya (sesama homeless) karena teman saya ini juga belum makan”. Coba, bayangkan, dia sendiri juga enggak makan tapi masih mau berbagi dengan temannya. Ini seorang homeless miskin loh, bukan sekedar orang miskin, tapi super duper miskin, enggak punya duit. Tapi dia tidak membiarkan kondisinya dia dikendalikan oleh Tuhan yang namanya kekurangan. Berarti dia Tuannya keberlimpahan. Ya. Meskipun dia enggak punya rumah, meskipun dia enggak punya uang, tapi dia selalu berbagi. Jadi jangan beralasan atau punya belief seperti “Nanti kalau saya sudah banyak uyang, baru saya akan merasa berlimpah”. Iya. Intinya ini soal mentalitas.

Nah, Yuuk kita kontemplasi atau refleksi. Mental kita yang mana nih, mental kekurangan atau mental keberlimpahan?

Tangerang, 31 Oktober 2025.

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *