Skip to content

DREAMS BOOK YANG TERTUNDA

books-education-school-literature-48126
Tinggal di negara Perancis tidak pernah terpintas sedikit pun dalam ‘dreams book‘ saya. Sewaktu saya masih duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP) di bilangan Jakarta Pusat, pertama kalinya terbesit dalam benak pikiran saya “oh, enak sekali yah, bisa sekolah dan bekerja di Jerman atau di luar negeri”. Ketika itu ada salah seorang alumni SMP yang datang dan berbagi pengalaman tentang sekolah di Jerman. Sehingga mulai muncul sebuah titik kecil dan mulai saya tulis dalam “dreams book” saya, suatu hari nanti saya ingin sekolah dan tinggal  di luar negeri, Jerman.   
Menginjak masuk sekolah menengah atas (SMA), saya mulai mengikuti ekskul (ekstra kurikuler) bahasa Jerman. Tapi hal itu tidak bertahan lama. Entah mengapa sepertinya sudah tidak menarik lagi mempelajari bahasa Jerman. Dan saya pun berhenti belajar bahasa Jerman. Karena pada saat itu ada yang lebih menarik selain bahasa Jerman, yaitu aktifitas pecinta wanita…eeh pecinta alam. 😀
Memasuki tahun ketiga masa SMA, konsentrasi saya beralih untuk bisa lanjut ke perguruan tinggi negeri. Maka target kuliah di universitas negeri ternama saya masukkan ke dalam ‘dreams book’. Menyadari kemampuan kedua orang tua yang terbatas, maka saya pun belajar giat. Buku-buku latihan soal, seperti Bank soal UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) saya lahap habis 2000 soal. Dimana ada kesempatan belajar, saya lumat itu soal-soal, walau sambil menjaga toko kelontong orang tua. Beberapa teman saya yang memiliki orang tua lebih mampu, mereka mengambil kursus bimbel (bimbingan belajar) demi mimpi diterima di universitas negeri. Alhasil, pengumuman penerimaan pun telah diterbitkan di surat kabar. Nama saya tidak tercantum pada daftar nama yang diterima di universitas negeri. Sesaat seperti kiamat….sia-sia belajar selama ini. Ingin teriak rasanya…..Aaaaaaaarrccchhhhh!!!!
Ibu dan kakak-kakak saya berusaha menenangkan saya. Mereka bilang, yah masih ada kesempatan untuk bisa kuliah di universitas swasta. Iya seh….tapi khan mahal, kataku. Saya pun mulai mencari informasi seputar universitas swasta di Jakarta. Pilihanpun jatuh kepada Universitas M**** B****, yang pada waktu itu baru membuka jurusan Teknik Informatika dengan biaya uang masuk yang masih relatif murah jika dibandingkan dengan beberapa universitas swasta yang cukup terkenal di bilangan Jakarta ketika itu.
Singkat cerita saya lulus S1 dari universitas swasta dengan predikat ‘cum laude’. Dan puji syukur saya ada kesempatan untuk melanjutkan studi S2 di kampus yg dulu pernah saya impikan, kampus ter-favorit se-Indonesia, karena peminatnya adalah dari seluruh penjuru Nusantara ingin sekali memakai jaket almamater yang berwarna kuning itu. Yah….salah satu ‘dreams book’ saya menjadi nyata untuk bisa studi di universitas negeri yang ternama, walaupun hanya 2 tahun selama mengambil Master, tetapi bagi saya, periode itulah yang membawa saya ke tahapan mimpi yang lebih tinggi, sekolah di luar negeri. Sejak menempuh pendidikan master, saya kenal baik dengan beberapa Profesor yang sebagian besar merupakan lulusan luar negeri. Seringkali ketika mengikuti perkuliahan, para Dosen menceritakan pengalamannya ketika menyelesaikan studinya di luar negeri. Api semangat saya untuk studi di luar negeri yang hampir padam, kembali menyala-nyala seperti terkena bensin yang terbakar begitu hebat. Setelah lulus dari program master S2 saya dengan menyandang predikat ‘cum laude’, saya masih menjaga hubungan baik dengan para profesor dan khususnya pembimbing thesis saya. Beliau sangat mendukung saya untuk bisa lanjut studi ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri.
Lalu, bagaimana saya bisa ‘nyasar’ ke Perancis? Bukan ke Jerman.
Nah, bagaimana cerita selanjutnya….mari kita saksikan di TKP….*OVJ style’s
Tapi sebelumnya Anda boleh singgah dan membaca coretan saya yang berjudul
“Keuletan, Kesabaran, Pengorbanan Meraih Beasiswa Luar Negeri”.
Setiba di Colmar, Perancis, baru satu bulan lamanya, saya tuangkan sedikit tentang bagaimana awal kehidupan di negeri Heksagon ini. “1 bulan pertama di Colmar, Alsace, Perancis” dan ini juga ada sedikit berbagi pengalaman saya tentang
“sekelumit wawancara tentang hidup dan studi di Perancis”. yang telah saya tulis pada tahun kedua di Perancis.
Dan terhitung sejak September 2012, saya resmi terdaftar sebagai mahasiswa doctor (PhD) di salah satu universitas di Perancis Timur, propinsi Alsace. Awalnya cukup bingung dan sedikit “shock” juga dengan perbedaan kultur. Ditambah kemampuan komunikasi bahasa Perancis saya masih sangat kurang. Mengingat hanya 1 bulan ikut kelas intensif bahasa Perancis di IFI (Institut Francais Indonesia) Jakarta, membuat saya harus mengambil kursus bahasa Perancis lagi di kampus. Tentunya hal ini sangat penting sekali bagi saya menguasai bahasa Perancis. Selain untuk berkomunikasi, bahasa perlu dikuasai sebagai salah satu alat ‘survive’ hidup di negeri orang. Bahasa Perancis sangat detil sekali, karena mereka menggunakan ‘accent’, konjugasi, artikel untuk nama benda, femina/maskulin, dll. Saya rasa kursus bahasa intensive selama 1 tahun cukup untuk bisa berkomunikasi dan memahami dan membaca tulisan. Sedangkan untuk pengucapan (pronounce), jujur, saya masih terus belajar hingga saat ini. 😀
Selama mengerjakan riset S3, saya memiliki seorang Pembimbing/Supervisor/Promotor (Directeur de Thèse) Thesis dan juga tentunya seorang Co-supervisor. Uniknya setiap kali saya melakukan diskusi atau proses bimbingan, Supervisor saya selalu berbicara dalam bahasa Perancis, tetapi Co-supervisor nya berbicara bahasa Inggris.
Para mahasiswa S3 memiliki sebuah kebiasaan, sepulang kerja setelah bekerja dari Senin hingga Jumat, terkadang, para mahasiswa doktor S3 mengadakan pertemuan ngopi bersama ‘after work’ di kedai kopi atau teh, ada juga kedai anggur. Dengan nuansa ruangan dari kayu tua dan lampu remang-remang, hiasan dan lukisan-lukisan terpampang di dinding, membuat suasana semakin hangat. Sambil menikmati secangkir kopi expresso khas Itali yang harum di sudut pusat kota Colmar bersama teman-teman, merupakan hal yang mengasyikkan. Duduk disamping saya ada beberapa wanita cantik berparas eropa dengan warna rambut ‘blonde’/pirang, merah, cokelat dan hitam berbicara dalam bahasa Spanyol, di dekat pintu masuk ada sekelompok pemuda dengan berbahasa Itali, ada sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta berbicara dalam bahasa Jerman. Kadang kita berbagi cerita, pengalaman hidup, permasalahan yang sedang dihadapi, diskusi tentang progres riset, bola, hingga politik yang sedang hangat di Perancis. Ada pula beberapa kawan yang mengisi waktunya sambil bermain ‘games’ seperti billiard, kartu, Go-Kart atau ding-dong.
Saya menyelesaikan studi S3 dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun. Setelah melaksanakan sidang ‘thesis defense’ atau ‘soutenance’ (bahasa Perancis, baca = sutenongs), saya dinyatakan lulus dengan baik. Pada saat ‘soutenance’, awalnya saya mencoba mengundang Duta Besar (Ambasador) Republik Indonesia dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Namun dikarenakan jadwal Beliau sangat padat, sayapun memakluminya. Visi dan misi saya mengundang Ambasador dan Atdikbud adalah sebagai sarana mempromosikan Indonesia, khususnya di kampus saya yang masih banyak belum memahami dan mengenal Indonesia dengan baik. Tapi saya tidak putus harapan untuk tetap mempromosikan Indonesia agar lebih dikenal. Kebetulan saya memiliki seorang teman yang baik hati, Dina Adinda, seorang Mahasiswa Indonesia yang ketika itu sedang studi di kota Strasbourg. Dina adalah seorang penari Sunda, khususnya Jaipong. Saya pun mendaulat Dina untuk bisa tampil menunjukkan kebolehannya menari Jaipong di depan para pengunjung/audience ‘soutenance’ saya. Tentunya tarian Jaipong ini dilakukan setelah prosesi ‘soutenance’ dan pengumuman hasil. Sementara para tamu menikmati makanan khas Indonesia dan Alsace yang telah disediakan, Dina pun memulai aksi tarian Jaipongnya. Para tamu pun senang menikmati jamuan dan hidangan sederhana itu. Berikut ini sedikit cuplikan rekaman video spektakuler dari persembahan seorang teman pelajar master di Universitas Strasbourg, Dina Adinda.
Video Jaipong Dina Adinda
Selama studi S3 saya di Perancis, dengan segala keterbatasan dan kendala yang saya temui, namun saya tetap berusaha memberikan dan menghasilkan yang terbaik. Beberapa kali saya mendapatkan penghargaan (award) baik tingkat nasional (pemerintah Perancis) maupun Internasional. Diantaranya saya pernah mendapatkan penghargaan ‘Prix d’Encouragement AMOPA’ (lihat liputannya pada berita lokal Perancis di https://www.ac-strasbourg.fr/toutes-les-actualites/actualite/article/prix-dencouragement-de-lamopa/ ) dan ‘Best Paper Award’ sebanyak 2 kali, 2013 di Hungaria dan 2014 di Sydney, untuk artikel publikasi ilmiah saya pada International Conference. Setelah saya menyelesaikan studi S3, saya mendapat peluang untuk bekerja di universitas dimana saya mengerjakan studi saya. Sejak September 2016, saya mendapatkan peluang emas itu. Saat ini saya dikontrak sebagai ‘Scientifique – Chercheur’ (Ilmuwan – Peneliti).
Banyak sekali suka dan duka yang saya alami selama menjalankan tugas studi di negeri orang, khususnya pengalaman tinggal bersama keluarga. Hal ini mungkin akan berbeda untuk teman-teman yang masih single atau jomblo apalagi jonnes (jomblo ngeness)… 😀
Salah satu keuntungannya studi di Eropa yang memiliki 4 musim adalah setiap pergantian musim, ada libur selama 2 minggu. Tapi libur paling lama adalah libur musim panas, yang hampir 2 bulan lamanya. 😀 Saat-saat liburan inilah yang sering dimanfaatkan untuk ‘travelling’ atau camping atau malah mengumpulkan euro dengan melamar ‘summer jobs’. Bagi yang memiliki uang tabungan cukup, jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan ‘Points of Interest’ di Perancis, maupun ke negara-negara Eropa lainnya, seperti Swiss, Itali, Spanyol, Jerman, Belanda, Austria, atau Belgia merupakan pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Hingga saat ini, 4 tahun sudah saya tinggal di kota tua namun cantik, Colmar, yang berada di propinsi Alsace, sebelah timur Perancis. Colmar, Alsace yang konon sangat terkenal dengan anggur putihnya dan cukup mahal. Selain ‘Petite Venice’ sebagai salah satu tujuan wisata, karena menyerupai Venice, Itali, Colmar juga memiliki beberapa artis tingkat dunia, seperti Auguste Bartholdi, seniman ‘sclupture’ pembuat patung Liberty yang ternama di kota New York, Amerika Serikat.
Selama hidup di Perancis, saya mengalami beberapa pengalaman kehidupan sosial yang tidak mungkin terlupakan. Mungkin Anda akan terkejut jika saya ceritakan pengalaman saya. Khususnya buat Anda orang Indonesia yang belum pernah hidup di luar negeri. Tapi mungkin hal itu tidak akan saya sampaikan disini, melainkan saya akan sampaikan pada postingan saya berikutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *