Mungkin cerita ini agak sedikit membosankan, karena ini cerita tentang perjalanan mendapatkan beasiswa untuk dapat sekolah lanjut di luar negeri. Dan untuk menggapai itu menjadi nyata sangatlah tidak mudah. Penuh ujian, hambatan, tantangan, serta pengorbanan yang luar biasa.
Berawal dari impian kecil saya ketika SMA, saya ingin sekali untuk dapat studi di luar negeri. Saya sering berkhayal dapat merasakan kehidupan baru, lingkungan baru, teman-baru dari segala penjuru dunia apabila saya dapat menggapai mimpi itu. Namun dalam perjalanannya impian itu malah pernah hilang. Mungkin impian itu hanya impian anak kecil yang spontanitas saja. Seperti anak TK atau SD yang sering ditanya, “nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” Tidak terasa waktu telah berjalan cukup lama, hingga mimpi itu benar-benar hilang. Setelah lulus S1 saya malah berangan-angan ingin menjadi orang biasa saja seperti pada umumnya. Bekerja, menikah, berkeluarga, mengejar karir dan seterusnya. Saya lulus S1 dari sebuah universitas swasta yang mungkin tidak begitu akrab di telinga orang-orang. Maklum, dengan perekonomian orang tua saya yang pas-pas-an dan akibat tidak mampu masuk ke universitas negeri yang bergengsi, maka saya jalani kehidupan sebagai mahasiswa S1 selama 5 tahun. Dengan status jurusan pada saat itu masih terdaftar, saya harus menempuh ujian negara agar dapat dinyatakan lulus. Setelah lulus S1, saya bekerja sebagai asisten programmer yang dikontrak. Selang beberapa tahun kemudian saya melamar sebagai dosen pada almamater saya. Dan jadilah saya seorang tenaga atau staf pengajar sejak saat itu. Baru menjadi dosen selam 2 tahun, saya merasa ilmu saya belum dalam. Akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan ke jenjang S2. Kali ini studi S2 saya di sebuah Universitas Negeri di bilangan Depok yang sudah pasti sangat terkenal di seluruh penjuru Indonesia. Walaupun untuk melanjutkan studi S2 dengan biaya sendiri yang cukup mahal pada saat itu, semangat saya tetap tinggi. Karena untuk mendapatkan sesuatu yang baik memang diperlukan pengorbanan. Pimpinan dari tempat saya bekerja belum mengijinkan saya untuk mendapatkan beasiswa, hal ini dikarenakan masa abdi saya yang masih sangat muda. Puji syukur, saya masih diberi kemampuan untuk membayar biaya studi S2 sendiri. Setelah menyelesaikan S2 dengan predikat cum laude, impian studi ke luar negeri itu muncul kembali. Niat untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya (S3) mulai muncul sejak tahun 2007. Dikarenakan tidak adanya dukungan finansial untuk studi S3, maka saya mulai menjadi ‘Pemburu beasiswa’. Dimulai dari mencari informasi kepada teman-teman yang sudah pernah mendapat beasiswa. Sampai mencari referensi dari teman-teman dan mantan pembimbing saya yang baik hati. Internet-pun menjadi salah satu alat untuk mencari lowongan S3 dengan beasiswa.
Pada tahun 2007, saya dikenalkan dengan seorang Profesor dari Jerman yang kebetulan sedang berada di Jakarta, Indonesia dalam rangka kerjasama antar universitas di Jerman dan Indonesia. Dengan berbekal semangat dan mental, saya siapkan CV dan resume saya untuk diberikan kepada beliau. Singkat cerita sayapun mendapat surat rekomendasi dari beliau untuk mengajukan beasiswa ke DAAD. Ketika itu sepertinya mimpi hampir menjadi kenyataan. Betapa senangnya saya ketika mendapat surat tersebut. Maka dengan segera saya menyiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk mengajukan beasiswa DAAD untuk studi S3 ke Jerman. Namun malang, rupanya nasib baik belum berpihak kepada saya. Ini adalah pengalaman pertama saya yang sangat berharga. Diperlukan persiapan yang cukup baik untuk bisa mendapatkan beasiswa DAAD. Dan pada saat itu saya memang belum melakukan persiapan yang baik, maka hasilnya masih sangat jauh.
Tahun 2009 saya mendaftarkan diri mengikuti kursus pelatihan bahasa Inggris yg diadakan oleh Dikti selama 4 bulan di sebuah universitas negeri di kota Malang, Jawa Timur. Ini adalah ujian pertama kali bagi saya, jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang lama. Saat pelatihan itulah, saya sadar sekali dan merasakan bahwa untuk meraih beasiswa dan studi ke luar negeri tidaklah mudah. Walaupun saat itu (katanya) pemerintah memiliki dana yang banyak untuk beasiswa. Namun peminatnya sedikit. Maksudnya adalah, saat ini, sejak tahun 2009, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kalau dahulu, dosen yang berburu mencari beasiswa, seperti apa yang telah saya lakukan selama ini. Namun, sejak tahun 2009 keadaan berubah, pemerintah dengan program beasiswa justru mencari dosen yang siap untuk studi ke luar negeri.
Pada akhir tahun 2010, saya dan beberapa teman sejawat melamar untuk beasiswa luar negeri pada gelombang 4. Mungkin dikarenakan kami memasukan dokumen pada hari terakhir pendaftaran, malang sekali nasib kami, nama kami tidak berada pada daftar pelamar beasiswa, walaupun dokumen lamaran beasiswa kami sudah diterima oleh pihak pengelola beasiswa. Akhirnya kami kembali mengajukan aplikasi beasiswa luar negeri pada gelombang 5. Kali ini kami mengajukan diawal periode. Berbekal pengalaman sebelumnya dengan harapan nama-nama kami masuk ke dalam daftar pelamar beasiswa luar negeri. Setelah beberapa bulan proses administrasi, pengumuman dikeluarkan pada awal tahun 2011, dan nama sayapun masuk dalam daftar pelamar beasiswa pada lampiran 2, yaitu peserta yang lulus namun bersyarat. Ada 2 syarat yang harus saya penuhi, nilai IELTS & Letter of Acceptance (LoA) yang terbaru. Perjuangan belum selesai, saya harus mengambil ujian IELTS. Sayapun belajar sendiri dengan berbekal Internet dan buku-buku untuk mengejar persyaratan bahasa Inggris yang mensyaratkan nilai IELTS min 6.0. Seandainya saja saya memiliki cukup finansial, mungkin saya akan mengambil kursus persiapan IELTS. Setelah beberapa bulan belajar otodidak, kembali saya mendaftar untuk ujian test IELTS pada bulan Mei 2011. Ternyata hasilnya masih kurang dari 6.0. Kemudian pada bulan September 2011 saya kembali mengambil test IELTS lagi untuk yang kedua kalinya. Ternyata nilai IELTS saya belum beranjak juga dan masih kurang dari 6.0. Sayapun nyaris putus asa. Dan untuk yang ketiga kalinya saya mengambil test IELTS pada bulan Januari 2012. Alhamdulillah, kali ini nilai IELTS saya mencapai 6.0. Maka dengan segera saya melaporkan diri saya untuk kembali memproses beasiswa saya yang tertunda selama hampir 1 tahun. Setelah melengkapi persyaratan nilai IELTS terbaru dan LoA terbaru, maka saya sudah masuk ke dalam daftar penerima beasiswa pada lampiran 1 (yang siap diberangkatkan). Segera saya urus dokumen persiapan keberangkatan, seperti passport, visa, surat ijin keberangakatan dari Sekneg, kontrak beasiswa, surat jaminan dan lain-lain. Ini memakan waktu sekitar 4-5 bulan. Dan mulai 5 Juni 2012, saya telah berada di Perancis untuk melanjutkan studi S3 saya.