Hallo, Bonjour, Semangat Pagi. Saya Abdusy Syarif. Kembali lagi kita lanjutkan pembahasan ini ke bagian kedua (Part #2). Saya mau share pengalaman saya melalui tulisan ini. Oh iya, bagaimana dengan PR pertanyaan pada Part #1? Apakah teman-teman sudah menemukan jawabannya? Jika belum, silahkan baca lagi Part #1 dan kerjakan PR-nya, lalu kembali ke sini… 😀
Dan sudahkah ditulis dengan pena pada secarik kertas atau buku? Kalau belum, balik lagi yah ke Part #1 atau STOP baca sampai disini. 😀😀
Kalau sudah, Good….Bagus. Bagi yang belum, kita do’akan sama-sama semoga mereka kembali ke jalan yang benar…. 😀😀😀
Kenapa diminta menulis ?
Menurut sebuah pendapat ahli psikolog, menulis adalah sebuah tools yang efektif untuk menembus pikiran bawah sadar manusia, karena ketika kita menulis, beberapa otot dan panca indera kita terlibat secara aktif seperti tangan, mata dan pastinya pikiran dan emosi. Dengan menulis juga memiliki kekuatan untuk menembus ‘BENTENG‘ pikiran bawah sadar kita. Kegiatan ini sering disebut Writing Therapy. Ini adalah salah satu metode terapi yang low-cost, mudah, efektif dan versatile untuk berbagai kondisi dan mental illnesses, seperti malas, stres, anxiety, depresi, fobia, anger, grief, dll. Beberapa peneliti bahkan membuktikan bahwa dengan kegiatan writing atau journaling adalah sangat healing, karena dengan menulis dapat membantu kita mengelola dan mengenali pikiran/emosinya, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh atau sistem imun juga pikiran kita.
Sangat berbeda dengan mengetik pada komputer/laptop. Coba deh buktikan oleh Anda sendiri. Mulailah menulis pada kertas/buku. Saya sendiri masih melakukannya sejak saya SADAR bahwa menulis itu baik dan masih saya lakukan hingga SAAT INI. 😀
Jika ada diantara kita yang berfikir dengan logikanya dan memutuskan untuk tidak menulis, karena dia merasa bisa mengingat semuanya didalam memori otaknya. Sehingga dia memilih untuk tidak menulis. Kita lihat, sampai kapan memori otaknya dapat menampung semua…😀😀. Mungkin juga dikarenakan orang tersebut memiliki ‘benteng’ didalam pikirannya yang sangat kuat dan sulit ditembus. Dia memasang ‘benteng’ bahwa tidak perlu menulis, karena semua sudah digital dan ada di Internet semuanya jadi ga perlu ditulis. Begitu.
Loh…ada toh ‘benteng’ di pikiran kita?
Ya, ternyata memang ada ‘benteng’ pada pikiran kita, atau sering disebut dengan critical area, dan ‘benteng’ ini justru yang mengontrol semua perilaku dan cara berpikir manusia, baik secara kita sadari maupun tidak disadari.
Critical area sering kita butuhkan sebagai pelindung, misalnya untuk mengantisipasi kita dari penipuan atau hal-hal yang membahayakan diri kita dan semacamnya. Namun, terkadang, critical area juga memfilter seluruh hal yang tidak diinginkan oleh diri kita, tanpa kita sadari. Karena ia bekerja pada level bawah sadar pikiran kita. Hal itu termasuk, misalnya memberi respon atau tanggapan seperti:
- “Ah….matematika itu susah”
- “Matematika itu membosankan”
- “Saya benci matematika”
- “Ah…Bahasa Inggris itu susah, apalagi Bahasa Perancis”
- “Waduh….saya ga bisa ngomong di depan banyak orang…”.
- “Saya ga bisa presentasi”.
- “Mencari nilai A itu susah…Ga mungkin!”
- “Mendapat nilai IPK 4.0 itu mustahil”
- “Lulus tepat waktu itu sulit”
- “Skripsi itu susah”
- “Tugas mata kuliah ini membosankan”
- “Ah…gurunya (dosennya) ga asik, ga enak…”
- “Percuma belajar, nyontek aja”
- Dan pemikiran lain sebagainya.
Anda kenal orang-orang yang punya ‘respon’ seperti di atas? Atau Anda kenal sekali dengannya? Atau bahkan mungkin kenal dekat sekali? 😀😀😀
Nah, sekarang kita sudah faham keberadaan ‘benteng’ dipikiran kita yang berisi nilai-nilai (values) dan/atau aturan-aturan (rules) yang telah tercipta tanpa kita sadari sejak kecil hingga hari ini. Itulah mengapa saya minta pada Part #1 untuk menuliskan semua values dan rules yang kita anut, yang kita fahami, yang kita percaya, hingga saat ini. Karena values dan rules tersebut tinggal menetap didalam ‘benteng’ yang dibatasi oleh critical area. Ketika ada sebuah pertanyaan atau informasi yang menyentuh critical area, maka respon otomatis kita adalah berdasarkan values dan rules yang berada dalam ‘benteng’ kita.
Critical Area dan informasi
Sebenarnya, selama study, kita banyak belajar hal-hal baru pada mata pelajaran tertentu. Proses pembelajaran ini pada intinya adalah sebuah proses memberikan informasi ke pikiran bawah sadar kita untuk memahami sebuah nilai dan pemahaman baru. Hal itu akan menambah pemahaman dan database yang telah ada atau mengganti pemahaman yang belum sempurna pada diri kita.
Namun terkadang, sebuah informasi sulit dipahami oleh pikiran kita disebabkan adanya pikiran-pikiran lain yang mengganggu pada saat proses penyerapan sebuah informasi ke pikiran bawah sadar seseorang. Sehingga sering terjadi konflik dalam pikiran kita. Dalam hal ini, pikiran bawah sadar kita menyimpan berbagai macam memori jangka panjang, baik seluruh informasi yang berasal dari pengalaman empiris (pengalaman yang dirasakan secara langsung) maupun informasi yang berasal dari pengalaman induktif (pengalaman yang diperoleh dari ucapan, tulisan, maupun tayangan yang diperoleh dari sumber-sumber di luar diri).
Informasi yang kita terima melalui pancaindra tidak langsung diserap oleh pikiran bawah sadar kita. Proses ini membutuhkan daya analisis dari pikiran sadar yang telah membentuk crirical area atau wilayah kritis sejak kita kecil. Fungsi ‘benteng’ ini adalah bertujuan menyaring seluruh informasi yang masuk dari berbagai sumber sebelum tertanam pada pikiran bawah sadar kita.
Nah, bagaimana cara mengatasi critical area kita yang terlalu aktif dan terkadang menjadi mental-block pada diri kita.
Salah satu cara yang efektif adalah dengan menulis. Jadi, sekarang…yuk kita coba menggali atau bercermin pada diri sendiri dengan cara melakukan self-talk. Gali kedalam ‘benteng’ kita masing-masing. Ada values dan rules apa saja dalam ‘benteng’ kita?
Silahkan tulis lagi pada buku semua values dan rules yang ditemukan!
Bersambung….Part #3
Colmar, 20 Mei 2022 – Spring Time